Ini adalah cuplikan dari artikel saya tentang Sosiobudaya makan yang sudah dimuat di Jurnal Humanis, mengulas bagaimana makanan ternyata mempunyai dimensi sosial budaya yang sangat kental. Disini khusus akan saya cuplikan tentang tabu pada makanan.
Makanan sebagai Sistem Budaya
Makanan sebagai Sistem Budaya
Bagi sebagian masyarakat, jenis-jenis makanan yang biasa dikonsumsi sejak masa kanak-kanak akan berlanjut menjadi makanan kesukaan pada saat dewasa. Sebagian besar masyarakat bersifat ”menyukai apa yang mereka makan” daripada “makan apa yang mereka suka”. Mereka mempunyai kesetiaan dan kepekaan terhadap susunan hidangan makanan tradisionalnya dan peka apabila ada kritik tentang makanan mereka. Hal yang berlaku umum dalam setiap kelompok sosial adalah adanya pembatasan-pembatasan tertentu terhadap bahan pangan yang tersedia dalam lingkungan alamnya. Artinya, ada bahan pangan yang potensial namun tidak dikonsumsi karena dianggap sebagai “bukan makanan“. Sebaliknya apa yang dianggap “makanan“ merupakan bagian penting dari kebudayaan suatu masyarakat, dan diwariskan ke generasi berikutnya lewat proses sosialisasi (Khumaidi,1994).
Tabu pada Makanan
Tabu pada Makanan
Hal menarik dalam pemilihan makanan dari segi budaya adalah adanya konsep tabu makanan. Tabu adalah tindakan untuk menghindari apa yang diyakini berbahaya secara supranatural, sedangkan tabu makanan adalah tindakan untuk menghindari makanan tertentu berdasarkan penjelasan sebab akibat yang bersifat supranatural ( Sanjur, 1982). Hal tersebut kadang susah dijelaskan secara rasional. Tabu makanan biasanya dikelompokkan berdasarkan tahapan kehidupan. Masing-masing berbeda jenis maupun makna spiritual yang tersembunyi di dalamnya. Selain itu, masing-masing daerah mempunyai tabu yang berbeda untuk diterapkan pada masyarakatnya, walaupun terkadang dengan semakin moderen masyarakat, tabu tersebut banyak yang sudah dilupakan dan dilanggar oleh penganutnya.
Aneka Penelitian tentang Tabu Makanan
Aneka Penelitian tentang Tabu Makanan
Banyak penelitian telah dilakukan untuk meneliti tabu makanan yang terjadi di masyarakat. Penelitian yang dilakukan oleh Wiwik & Yushila (2006), mendapatkan adanya tabu makan telur pada anak-anak di daerah Pekalongan, karena dikhawatirkan nantinya akan tumbuh bisul. Di daerah Magelang, adanya tabu makan ikan bagi anak-anak, karena dikhawatirkan nantinya akan terkena penyakit cacing pada anak.
Penelitian yang dilakukan oleh Dyah & Ichsan (2006), mendapatkan adanya tabu makan brutu yaitu daging ayam bagian ekor untuk gadis remaja di daerah Lampung, supaya tidak genit sehingga sulit jodoh. Hal tersebut mungkin diasosiasikan dengan tindak-tanduk ayam yang senang menggoyang-goyangkan buntutnya sehingga terkesan genit, dan dikhawatirkan seorang gadis yang memakannya akan berperilaku demikian. Tabu makanan yang lain yaitu tidak boleh makan sayap ayam bagian telampik, yaitu daging yang kecil di ujung sayap, pada remaja laki-laki di daerah Semarang karena dikhawatirkan nanti kalau sudah saatnya melamar gadis akan ditolak. Konsep ini mungkin karena adanya kemiripan pelafalan istilah dalam bahasa Jawa antara telampik yang berarti ekor ayam dengan ditampik, yang berarti ditolak. Selanjutnya untuk gadis remaja di daerah Solo ada tabu tidak boleh makan jantung pisang, supaya tidak mandul.
Penelitian yang dilakukan oleh Wibowo (1993), mendapatkan adanya tabu makan telur dan daging pada ibu hamil di Jawa Tengah karena dikhawatirkan akan menyebabkan perdarahan yang banyak pada saat melahirkan. Selanjutnya di daerah Betawi ada tabu makan ikan asin, ikan laut, udang dan kepiting bagi ibu menyusui, karena dikhawatirkan nantinya air susu akan menjadi asin.
Tabu makan ikan hiu pada ibu menyusui di daerah Sulawesi Selatan, merupakan temuan menarik pada penelitian yang dilakukan oleh Aswita& Dewi (2006). Dalam uraiannya dikatakan bahwa hal itu berkaitan dengan legenda yang terjadi di daerah Sulawesi Selatan, khususnya pada suku Bugis. Dahulu saat sedang mencari ikan di laut terjadi badai yang dahsyat, dan mereka selamat karena ditolong oleh ikan hiu sehingga terjadi perjanjian tidak boleh lagi makan ikan hiu untuk anak cucunya. Pada ibu menyusui, makan ikan hiu dipercaya akan menyebabkan anak menderita penyakit kulit. Selain itu untuk ibu menyusui di pulau Lombok, khususnya suku Sasak, terdapat tabu makan ikan belut karena akan menyebabkan penyakit gatal pada anak yang disusuinya. Pada masyarakat Papua, khususnya suku Jae, Ikan Kakap dan Ikan Sembilan tabu dimakan karena bentuknya aneh, sehingga dikhawatirkan akan menyebabkan kelainan pada tubuh, bahkan berakibat kematian (Apomfirez, 2002).
Tabu makanan banyak yang berhubungan dengan sumber hewani, seperti daging dan ikan. Menurut Reddy (1990), tabu makanan berkaitan dengan konsep ”panas-dingin” yang dapat memengaruhi keseimbangan unsur-unsur dalam tubuh manusia, tanah, udara, api dan air. Apabila unsur-unsur di dalam tubuh terlalu panas atau terlau dingin, maka akan menimbulkan penyakit. Daging dan ikan tabu dimakan karena mengandung unsur panas, sehingga apabila dimakan dipercaya dapat menimbulkan penyakit.
Tabu makanan tersebut akan dipatuhi atau tidak, tergantung dari kekuatan budaya setempat, keyakinan yang dianut serta budaya luar yang mempengaruhinya.
Baca Artikel Menarik Lainnya :
Melahirkan dengan Posisi Jongkok Lebih Mudah Mengejan
Pengalamanku Sukses ASI Eksklusif
Diet Langsing ala Jennifer Lopez dan Madonna
Semakin Bertambah Tua Harusnya Makan Lebih Sedikit
Baca Artikel Menarik Lainnya :
Melahirkan dengan Posisi Jongkok Lebih Mudah Mengejan
Pengalamanku Sukses ASI Eksklusif
Diet Langsing ala Jennifer Lopez dan Madonna
Semakin Bertambah Tua Harusnya Makan Lebih Sedikit
0 komentar:
Posting Komentar